Pakar ITB Beberkan Alasan Mahalnya Studi Sumber Air Gunung untuk Industri AMDK

Jakarta – Di balik kesegaran air minum dalam kemasan (AMDK) yang berasal dari pegunungan, tersimpan proses panjang dan rumit yang membutuhkan investasi ilmu dan biaya tidak sedikit.

Pakar hidrogeologi yang juga Wakil Dekan Bidang Sumberdaya Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB), Dasapta Erwin Irawan, mengungkapkan bahwa sebelum menancapkan pipa pengeboran, industri AMDK harus melalui serangkaian kajian mendalam untuk memastikan sumber air baku yang dipilih benar-benar berkelanjutan dan terlindungi dari kontaminasi.

Dalam keterangannya yang diterima InfoPublik, Senin (3/11/2025), Dasapta menjelaskan bahwa air pegunungan yang digunakan berasal dari lapisan akuifer dalam, di bawah lapisan batuan.

Sumber air itu terbentuk dari proses alamiah yang sangat lama, di mana air hujan meresap dan terinfiltrasi ke dalam tanah menuju lapisan akuifer yang memiliki porositas dan permeabilitas tinggi.

“Kecepatan infiltrasi air hujan ke dalam tanah itu bervariasi dan sangat lama. Sedalam satu sentimeter per menit saja itu sudah hebat infiltrasinya,” ujarnya.

Proses inilah yang menjadikan air dari akuifer dalam kaya mineral dan relatif lebih aman dibandingkan air permukaan atau mata air terbuka yang rentan tercemar.

Menurut Pakar Air ITB itu, industri AMDK tidak bisa sembarangan mengambil air. Mereka harus terlebih dahulu memetakan dan melindungi daerah resapan air untuk memastikan debit air tetap terjaga.

Untuk melacak asal-usul air dan daerah resapannya, diperlukan analisis hidrogeologi canggih, salah satunya dengan menggunakan teknologi isotop. “Itu mahal karena melibatkan banyak ilmu,” tegas Dasapta mengenai biaya studi awal yang harus dikeluarkan Perusahaan AMDK.

Irwan Iskandar, Pakar hidrologi ITB lainnya yang juga Ketua Perkumpulan Ahli Air Indonesia (PAAI), menambahkan bahwa operasional pengambilan air juga diatur ketat oleh perundang-undangan.

Setiap industri AMDK wajib mengantongi Izin Penggunaan Air Tanah (SIPA) dan membayar Nilai Perolehan Air (NPA) kepada negara.

Proses perizinannya melalui Kementerian ESDM cq. Badan Geologi, dengan melampirkan data lengkap seperti identitas pemohon, lokasi pengeboran, serta rencana penggunaannya.

Pengawasan tidak berhenti di meja izin. Irwan menekankan bahwa Badan Geologi mengawasi langsung konstruksi sumur, mulai dari kedalaman, desain, hingga kualitas air berdasarkan analisis kimia. Uji pemompaan juga wajib dilakukan secara marathon selama 72 jam non-stop untuk memastikan akuifer mampu mengisi kembali (recharge) setelah air diambil.

“Jadi, tidak seenaknya begitu saja industri AMDK itu bisa menggunakan air tanah pegunungan itu,” tukasnya.

Pengawasan berlanjut bahkan setelah sumur beroperasi. Badan Geologi memantau terus debit air melalui sumur pantau yang dibangun di sekitar lokasi. Jika data pemantauan menunjukkan penurunan kuantitas air yang signifikan, izin pengambilan air bisa dikurangi atau bahkan dicabut.

Setiap Perusahaan AMDK juga memiliki “jatah” pengambilan air harian yang ketat, yang perhitungannya mempertimbangkan keberadaan pengguna air lain di sekitar lokasi.

Irwan memastikan bahwa untuk industri besar, Badan Geologi punya data produksi dan penjualan harian untuk memastikan kepatuhan terhadap kuota yang telah ditetapkan. (red)