Jakarta – Mantan Hakim Agung Republik Indonesia Gayus Lumbuun mengatakan hukuman bagi seorang terdakwa dengan status justice collaborator (JC) harus tetap memperhatikan perbuatannya.
“Justice collaborator tidak berarti harus dihukum ringan. Posisi JC memang mengurangi hukuman, namun berat ringan hukuman tetap mempertimbangkan perbuatannya,” kata mantan Hakim Agung Republik Indonesia Gayus Lumbuun melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (3/2) malam.
Menurut Gayus Lumbuun, seorang JC tetaplah seorang terdakwa. Artinya, terdakwa memiliki beban delik dakwaan yang tidak hilang.
“JC memang memiliki hak-hak seorang JC sesuai dengan Undang-Undang LPSK, tapi di sisi lain dia juga seorang terdakwa. Hakim nanti yang akan menilai,” ujar dia.
“Namun, seorang JC harus bekerja sama dengan penegak hukum,” ujarnya.
Menurutnya, perlu penjelasan ke publik supaya masyarakat tidak memandang bahwa JC adalah segalanya. Dengan kata lain jangan sampai masyarakat berpandangan seorang JC sudah pasti mendapatkan hukuman ringan.
“Seolah JC sudah pasti dapat itu (hukuman yang ringan). Padahal, pengalaman selama ini, juga banyak JC yang ditolak hakim. Penyebabnya, rekomendasi tidak sesuai dengan apa yang ditemukan di JC” kata dia.
Dalam kasus Richard Eliezer, menurut Gayus, dia adalah seorang terdakwa yang mengeksekusi Brigadir J. Dalam posisi seperti itu, kalaupun Eliezer dikurangi atau dihilangkan pidananya, bukan karena seorang JC tapi harus karena perbuatannya.
“Misalnya dihapus (pidananya) karena dia hanya menjalankan perintah atasannya. Jadi, jangan berpikir JC itu pasti mendapatkan keringanan hukuman,” jelas dia.
“Yang satu (Sambo) menyuruh, yang satu disuruh untuk membunuh kok,” katanya.
Terakhir, ia berharap masyarakat bisa memahami hal tersebut. Sebab, sekalipun ingin menyampaikan suara namun harus tetap dengan logika.
“Ini ada legal justice dan ada social justice. Keadilan masyarakat harus diimbangi keadilan hukum. Tidak boleh keadilan jalanan,” jelas dia. (Ant)