Dr dr Anna Rozaliyani: Infeksi Jamur Perburuk Kondisi Pasien COVID-19

Jakarta – Ketua Pokja Bidang Mikosis Paru dan Pusat Mikosis Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Persahabatan Dr dr Anna Rozaliyani MBiomed SpP(K) mengatakan infeksi jamur akan memperburuk kondisi pasien COVID-19.

“Mukormikosis maupun infeksi jamur sistemik lain berpotensi menimbulkan komplikasi yang memperberat kondisi pasien COVID-19, serta meningkatkan risiko kematian,” ujar Anna dalam taklimat media di Jakarta, Kamis.

Kondisi itu juga menyebabkan makin tingginya biaya perawatan di rumah sakit akibat infeksi jamur. Hal itu berkaitan dengan besarnya biaya pemeriksaan serta pengobatan yang harus diberikan, masa rawat di RS yang lebih lama, serta banyaknya SDM tenaga kesehatan yang harus tersedia untuk merawat pasien dengan kondisi sakit berat atau kritis.

Beberapa kasus mukormikosis atau infeksi jamur yang menyebabkan kelainan jaringan berwarna hitam tersebut dilaporkan terjadi di Indonesia sebelum pandemi COVID-19.

“Walaupun jumlahnya tidak banyak, tetapi angka kematian dan kesakitannya tinggi. Semasa pandemi juga telah ditemukan beberapa kasus yang diduga mukormikosis, hanya saja pembuktian diagnosis terkendala terbatasnya fasilitas pemeriksaan yang memadai,” tambah Anna.

Selain pasien COVID-19, kelompok yang paling berisiko mengalami mukormikosis antara lain pasien diabetes dengan kondisi ketoasidosis diabetikum, pasien kanker dan penerima transplantasi organ, kondisi neutropenia berkepanjangan, penderita hemokromatosis (mengalami kelebihan zat besi), cedera kulit akibat pembedahan, luka bakar, bencana alam, bayi berat badan lahir rendah atau prematur, pasien sakit berat atau kritis, pasien gagal ginjal kronis atau mengalami hemodialisis, pasien HIV, penggunaan narkoba jenis suntikan maupun kondisi imunokompromi lainnya.

Gejala dari mukormikosis tersebut diantaranya infeksi pada rongga sinus yang dapat menyebar ke otak seperti wajah bengkak satu sisi, sakit kepala, hidung tersumbat, demam, kelainan berwarna hitam pada hidung dan mulut. Kondisi itu terjadi pada mukormikosis rinoserebral.

Mukormikosis paru yang paling sering terjadi pada pasien kanker atau transplantasi. Gejalanya: demam disertai batuk, nyeri dada, sesak napas, yang tidak membaik dengan pengobatan standar.

Mukormikosis gastrointestinal yakni infeksi saluran cerna yang lebih sering terjadi pada pasien anak, terutama bayi prematur yang menerima antibiotik sistemik, steroid, pembedahan, dan lainnya. Gejalanya dapat berupa sakit perut, mual, muntah, dan perdarahan gastrointestinal.

Mukormikosis kulit yakni terjadi melalui luka pada kulit (misalnya setelah operasi, luka bakar dan lainnya). Gejala dapat terlihat seperti lecet atau bisul, dan area yang terinfeksi menjadi hitam. Gejala lain termasuk nyeri, hangat, kemerahan berlebihan, atau bengkak di sekitar luka.

Mukormikosis diseminata yakni infeksi menyebar melalui aliran darah, dapat menyebar ke organ lain, termasuk otak, limpa, jantung, dan lainnya. Biasanya terjadi pada kondisi sakit berat, dan sulit mengetahui gejala khusus. Pasien dengan infeksi otak dapat mengalami perubahan status mental atau koma.

Anna menambahkan mukormikosis dapat dicegah khususnya pada pasien COVID-19 melalui peningkatan kewaspadaan klinis atau ketelitian dokter sebagai langkah awal diagnosis, membatasi dan melakukan seleksi penggunaan obat yang menurunkan imunitas seperti kortikosteroid, pengendalian kadar gula darah, menjaga kebersihan fasilitas rumah sakit, dan jika ada pekerjaan renovasi atau konstruksi di rumah sakit pastikan pemisahan dari pasien dengan risiko tinggi.

“Juga perlu dilakukan pengendalian faktor lingkungan seperti menghindari area dengan banyak debu, menghindari kontak langsung dengan bangunan rusak karena banjir atau bencana alam, menghindari aktivitas kontak dekat dengan tanah atau debu termasuk berkebun atau menggunakan alat pelindung diri yang baik pada saat berkebun,” imbuh dia. (Ant)